
Ingatkah Anda pada kisah cinta Rose DeWitt Bukater dan Jack Dawson dalam film Titanic?
  Cerita asmara seperti itu ternyata benar-benar terjadi dalam kapal 
yang  akhirnya menabrak es dan tenggelam pada 15 April 1912 tersebut.
Sedikit  berbeda dari kisah Titanic yang diceritakan sutradara James Cameron  pada 1997, kisah nyata pada seratus tahun silam dirasakan
 oleh seorang  janda bernama Helen Churchill Candee. Helen adalah 
seorang wanita cantik  dan pemberani asal New York. Bisa dibilang Helen menjadi wanita yang  keluar dari zamannya waktu itu.
Di
 usianya yang ke-53 saat itu,  Helen hidup bersama kedua anaknya setelah
 ia bercerai pada 1896 dari  seorang pria kaya raya. Kisah perceraiannya
 ini rumit. Helen dikabarkan  pernah menyewa detektif swasta untuk memata-matai suaminya yang diduga  telah berselingkuh. di pengadilan New York, gugatan cerainya tak  dikabulkan
 karena kurang bukti. Helen tak menyerah, ia kembali ke  Oklahoma dan 
akhirnya berhasil memutuskan hubungan selama 15 tahun  antara ia dan 
suaminya dengan tuduhan suaminya telah bertindak kasar dan  mabuk berat.
Setelah
 berpisah, Helen menjalani hari-harinya  bersama anak-anaknya secara 
mandiri. Untuk menghidupi keluarganya, ia  bekerja sebagai penulis 
lepas. Ia pernah menulis artikel "How 
Women May  Earn a Living" yang begitu tenar pada 1900. dia juga membuat sebuah  novel berjudul "An Oklahoma Romance" dan menjadi kontributor di
 sejumlah  majalah. Topik bahasannya tak melulu soal kewanitaan, tetapi 
juga soal  etika bersosialisasi dan bahkan soal arsitektur.
Helen juga  menekuni bidang desain interior
 ketika ia pindah dari New York ke  Washington. Popularitas dan 
seleranya yang tinggi terhadap seni membuat  banyak orang tertarik untuk
 memanfaatkan jasanya. Konon mantan Presiden  AS Theodore Roosevelt dan 
arsitek Gedung Oval, Nathan Wyeth, pernah  berkonsultasi dengannya untuk
 menghias sisi barat Gedung Putih. di  kemudian hari, ia juga menulis buku soal desain, dekorasi, dan  permadani.
Bagaimana Helen bisa sampai ke Inggris dan naik kapal  Titanic dari Southampton ke New York? Itu semua diawali dari  kecintaannya terhadap petualangan ke negara-negara lain di
 belahan  dunia. Ketika sedang dalam perjalanan ke Spanyol dan Italia, 
Helen  mendengar kabar bahwa putranya, Harold, mengalami kecelakaan 
kereta.  Tanpa pikir panjang, ia mencari tiket pulang menjenguk 
putranya. "Kalau  Harry (Harold) mati, apalah artinya hidup ini?" 
tulisnya dalam sebuah  catatan.
Maka dipilihnya
 kapal Titanic untuk membawanya kembali  ke New York. Ia memperoleh 
tiket kelas utama bersama sejumlah pesohor  dari AS dan Inggris, antara 
lain Sir Cosmo Duff Gordon, seorang  bangsawan Inggris dan atlet anggar,
 bersama istrinya, Lucy. di sana juga  ada perancang busana ternama dari Inggris sekaligus pria terkaya di  kapal itu, John Jacob Astor IV, beserta istrinya Madeleine yang berusia  19 tahun.
Disebutkan oleh Daily Mail, Helen segera terkenal dan  menjadi primadona di Titanic. Wajahnya yang dingin, tapi anggun dan  percaya diri, menarik pria-pria yang bepergian sendiri di kapal itu.
Di
  kapal itu, Helen berkenalan dengan arsitek dari AS, Edward Kent (58), 
 dan Hugh Woolner (45), pemasok karya-karya seni asal Inggris. Keduanya 
 pria mapan dan lajang. Dalam tulisan-tulisannya soal Titanic, Helen  
menyebut Kent mencoba menarik perhatiannya dengan menyuruh awak kabin  
memberikan puluhan majalah untuknya. "Perkenankan saya melayani Anda  
dengan cara apa pun yang saya bisa," tulis Helen. Bukannya tertarik,  
Helen menilai Kent sebagai orang yang "tidak punya kepribadian dan  
cuek", bahkan "pria aneh".
Helen tampaknya lebih suka kepada  
Woolner, yang lebih muda dari Helen. Woolner menyurati Helen dan  
memintanya untuk bertemu dalam sebuah pesta koktail sebelum makan siang,
  dua hari sebelum kapal tenggelam. Helen menyambut tawaran itu, tapi ia
  tidak mau terang-terangan berduaan dengan pria lain. Helen kemudian  
meminta kepada seorang pelayan untuk menunjukkan kepada Woolner tempat  
ia duduk bersama Kent di dek kapal pada keesokan harinya.
Singkat
  cerita, Helen bertemu dengan Woolner, tanpa Kent yang pergi tanpa  
alasan jelas. "Pakaian dan gayanya (Woolner) layaknya pria Inggris,"  
tulis Helen yang terkesan oleh penampilan penggemarnya itu. Helen pun  
mulai tertarik kepada Woolner.
Sejak saat itu, Helen berdekatan  
dengan Woolner. Dalam suatu kesempatan, keduanya bertemu dengan empat  
pria lain pada Minggu tanggal 14 atau sehari sebelum Titanic karam.  
Helen tak menceritakan kisah selanjutnya bersama Woolner. Ia berusaha  
untuk menutupi perasaannya, termasuk ketika ia sedih membayangkan  
anaknya yang cedera.
Mereka berenam berkumpul setelah makan  malam dalam sebuah restoran mewah di kapal tersebut. Mereka di sana  hingga pengunjung lain di restoran itu beranjak pergi. Helen menyadari  bahwa ia menjadi satu-satunya wanita di restoran itu. Ia pun kembali ke  kamar untuk mandi.
Kemudian tibalah saat-saat menegangkan di  Titanic. Para pelayan di
 kelas utama mengabarkan bahwa kapal telah  menabrak gunung es. "Seperti
 menabrak puncak gunung dalam laut," kenang  Helen. Woolner segera 
datang dan menemani Helen. "Woolner meletakkan  lengannya di bahuku. Gerakan itu membuat saya merasa tidak ada jaminan  keamanan."
Mereka
 kembali ke kamar Helen dan mengumpulkan barang  bawaannya. Dalam 
perjalanan menuju geladak, mereka bertemu dengan Kent.  Melihat begitu 
banyaknya bawaan Helen, Kent berkata, "Anda tidak bisa  membawa seisi 
bagasi bersama Anda!"
Dalam tasnya, Helen membawa  botol kecil dan bingkai kecil dari emas tempat ia menyimpan foto ibunya.  Barang itu dititipkannya kepada Kent. Helen meminta Kent untuk merawat  kedua barang berharga tersebut.
Di geladak, suasana sudah  hiruk-pikuk dengan orang yang ingin menyelamatkan diri.
 Kapten kapal  meminta wanita dan anak-anak untuk masuk ke dalam sekoci.
 Helen masih  sempat ngobrol dengan Woolner tentang betapa terangnya 
bintang-bintang  di langit malam itu.
Sebagaimana penumpang perempuan lain di
  kapal itu, Helen mendapat kesempatan untuk naik ke sekoci. Woolner  
berusaha menemaninya, tetapi kapten kapal menyuruhnya menjauh dari  
sekoci. Sekoci itu sempat bergerak menjauhi kapal dan saat itu Helen  
berusaha masuk ke dalam sekoci. Itu mengakibatkan engkel kakinya patah.
"Tak
  ada yang bicara. Kata-kata tidak cukup untuk menggambarkan bencana 
itu.  Dunia sudah kiamat," sebut Helen yang kemudian juga ikut membantu 
 mendayung sekoci.
Helen akhirnya selamat, bersama dengan  
Archibald Gracie, pensiunan tentara yang menjadi temannya ke mana pun ia
  pergi. Bjornstrom Steffansson, orang Swedia kenalan Helen di kapal itu,  juga selamat. Demikian pula Woolner.
Kent tewas bersama 1.500  penumpang korban Titanic. Jasadnya ditemukan telah membeku di Samudra  Atlantik. di sakunya terdapat botol kecil dan liontin foto titipan  Helen. Kedua barang itu dikembalikan kepada Helen setibanya di New York.  Barang itu kemudian dilelang pada 2006, laku 58.000 poundsterling dan  30.000 poundsterling. Sejumlah barang lain milik Helen juga dilelang dan  terjual seharga 47.000 poundsterling.
Helen menulis sebuah  artikel tentang pengalamannya di Titanic pada majalah Collier’s Weekly  di AS. Ia pernah berusaha mencari Woolner, tapi tidak ada respons.
Kisah pahit itu tak menghancurkan hidup Helen. Anaknya Harold sembuh dari cederanya. Helen juga kembali menjelajah dunia.
Selama  Perang Dunia I, dia
 bekerja untuk Palang Merah Italia dan sempat  mengobati penulis dan 
peraih Nobel, Ernest Hemingway. Helen juga tetap  berpetualang dan 
pernah mampir ke Indonesia, Jepang, China, dan Kamboja. 
Dia kembali menggeluti bidang yang dicintainya,
 desain interior  dan menulis tentang jalan-jalan. Ia pernah menulis 
untuk National  Geographic hingga umur 80 tahun. Ia meninggal dunia pada
 1949 pada usia  90 dan tak menikah lagi. Wajahnya pernah digambarkan
 dalam film  dokumenter buatan James Cameron dengan judul "Ghosts of the
 Abyss" yang  menceritakan ekspedisi pencarian bangkai Titanic.
 
Title : 
Description :   Ingatkah Anda pada kisah cinta Rose DeWitt Bukater dan Jack Dawson dalam film Titanic?   Cerita asmara seperti itu ternyata benar-benar te...