Sejarah Indonesia meliputi suatu 
rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah 
berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang 
lalu. Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: Era 
Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di 
Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era Kolonial, 
masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan 
rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 
abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; Era 
Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai 
jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan 
Soeharto (1966–1998),serta Era Reformasi yang berlangsung sampai 
sekarang
Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia 
modern (untuk kemudahan, selanjutnya disebut Nusantara) merupakan 
pertemuan antara tiga lempeng benua utama: Lempeng Eurasia, Lempeng 
Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik (lihat artikel Geologi Indonesia). 
Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat 
melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es, hanya 10.000 tahun yang lalu
 Pada masa Pleistosen, ketika masih 
terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama 
yang menunjukkan penghuni pertama adalah fosil-fosil Homo erectus 
manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan 
sisa-sisa "manusia Flores" (Homo floresiensis)[1] di Liang Bua, Flores, 
membuka kemungkinan masih bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es 
terakhir
 Homo sapiens pertama diperkirakan 
masuk ke Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu melewati jalur pantai 
Asia dari Asia Barat, dan pada sekitar 50.000 tahun yang lalu telah 
mencapai Pulau Papua dan Australia.[3] Mereka, yang berciri rasial 
berkulit gelap dan berambut ikal rapat (Negroid), menjadi nenek moyang 
penduduk asli Melanesia (termasuk Papua) sekarang dan membawa kultur 
kapak lonjong (Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa Austronesia 
dengan kultur Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM dari 
Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi
 (kebudayaan Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian dari 
pendudukan Pasifik. Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini 
cenderung ke arah barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau 
berkimpoi campur dengan penduduk setempat dan menjadi ciri fisik 
penduduk Maluku serta Nusa Tenggara. Pendatang ini membawa serta 
teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti 
paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau, pengolahan perunggu 
dan besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek megalitikum, serta pemujaan
 roh-roh (animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme). Pada abad 
pertama SM sudah terbentuk pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan 
kecil, dan sangat mungkin sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India 
akibat hubungan perniagaan.
Era pra kolonial
Sejarah awal
 Para cendekiawan India telah menulis 
tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan 
Sumatra sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan tanggal adalah
 dari abad ke-5 mengenai dua kerajaan bercorak Hinduisme: Kerajaan 
Tarumanagara menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai 
Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah 
tersebut.
 Di saat Eropa memasuki masa 
Renaisans, Nusantara telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan 
tahun dengan dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit
 di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang sering kali 
menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau saling terhubung dalam 
semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).
 [sunting] Kerajaan Hindu-Buddha
 !Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha
 Prasasti Tugu peninggalan Raja Purnawarman dari Taruma
 Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di 
wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan
 Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. 
Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya 
berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi 
ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, 
Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. 
Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa 
Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah 
Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian 
besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. 
Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam 
kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.
Kerajaan Islam
 Islam sebagai sebuah pemerintahan 
hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah 
sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur 
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka 
yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan 
Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7.[4]
 Menurut sumber-sumber Cina menjelang 
akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin 
pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan 
pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 
100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim 
surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah
 meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat 
itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang
 isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya 
terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang 
mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang 
semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang 
tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan
 kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu 
banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan 
kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan 
menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, 
yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. 
Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada 
tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih 
menganut Budha.[5]
 Islam terus mengokoh menjadi 
institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan 
Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 
12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke 
kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim 
bernama Bayanullah.
 Kesultanan Islam kemudian semikin 
menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, 
menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di 
Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu.
 Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan 
Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada 
mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.
 Penyebaran Islam dilakukan melalui 
hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar 
dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang 
datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga 
mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh 
inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga
 para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk 
lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama 
mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk 
diantaranya: Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin 
hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, dan 
Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku
karikatur sejarah indonesia
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 Era kolonial
Kolonisasi VOC
 Mulai tahun 1602 Belanda secara 
perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, 
dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang 
telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah
 Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika 
berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda 
menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa 
pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah 
Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang
 Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan 
Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 
350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka 
karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati 
kebangkrutannya.
 Logo VOC
 Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda
 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh 
perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa 
Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan
 hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah 
tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di 
Batavia, yang kini bernama Jakarta.
 Tujuan utama VOC adalah 
mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di 
Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan 
terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan 
terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para 
penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus 
menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau
 mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan 
pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang 
bekerja di perkebunan pala.
 VOC menjadi terlibat dalam politik 
internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan 
yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
 setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir
 abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas 
Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada
 tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang
 Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa 
yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai 
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil 
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti 
teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. 
Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik 
yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah 
monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 
1870.
 Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi 
apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische 
Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan 
bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah 
gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang
 kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan 
dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
 Pada 1905 gerakan nasionalis yang 
pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 
1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon 
hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. 
Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari 
profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik 
di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, 
termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
 Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, 
Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan 
siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan
 Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan 
persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai 
penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang 
sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan 
revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir 
dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pendudukan Jepang
 pada Juli 1942, Soekarno menerima 
tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk 
pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan 
militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh 
Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang
 di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan 
status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap 
penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan 
seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang 
lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target 
sasaran dalam penguasaan Jepang.
 Pada Maret 1945 Jepang membentuk 
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 
pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi 
nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad 
Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim 
Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah 
Hindia-Belanda sebelum perang.
 Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta 
dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu 
Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju 
kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 
Agustus
Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
 Mendengar kabar bahwa Jepang tidak 
lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 
Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar 
mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara 
pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air 
(PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan 
kediaman Soekarno.
 Pada 18 Agustus 1945 Panitia 
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai 
Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan 
konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk 
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga
 pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan 
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri 
dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, 
Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, 
Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
 Dari 1945 hingga 1949, persatuan 
kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang 
segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak 
mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk 
membentuk kembali kekuasaan kolonial.
 Usaha Belanda untuk kembali berkuasa 
dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda 
segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para 
nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 
Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun 
peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan 
kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia 
menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
 Tidak lama setelah itu, Indonesia 
mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana 
dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen 
atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah 
pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil 
susah dicapai.
 Peran Islam di Indonesia menjadi hal 
yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan 
Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara 
Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat
 Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
 Pemberontakan yang gagal di Sumatera,
 Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, 
ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan 
sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno 
secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat 
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak 
menemui banyak hambatan.
 Dari 1959 hingga 1965, Presiden 
Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi 
Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju 
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara 
bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok 
Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
 tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak 
menjadi Gerakan Non-Blok.
 Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, 
Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan 
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI 
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China,
 dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada 
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Demokrasi Terpimpin
 Pemberontakan yang gagal di Sumatera,
 Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, 
ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan 
sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno 
secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat 
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak 
menemui banyak hambatan.
 Dari 1959 hingga 1965, Presiden 
Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi 
Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju 
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara 
bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok 
Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
 tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak 
menjadi Gerakan Non-Blok.
 Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, 
Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan 
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI 
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China,
 dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada 
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat
 Pada saat kemerdekaan, pemerintah 
Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini 
(Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan
 pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
 Negosiasi dengan Belanda mengenai 
penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan 
penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum 
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 
1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju 
melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan 
Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih 
kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
 Hingga 1965, PKI telah menguasai 
banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat 
dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai 
kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai 
pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
 Pada 30 September 1965, enam jendral 
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang 
disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima 
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas 
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan 
situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu 
orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa 
pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa
 dan Bali
Era kolonial
Kolonisasi VOC
 Mulai tahun 1602 Belanda secara 
perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, 
dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang 
telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah
 Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika 
berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda 
menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa 
pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah 
Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang
 Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan 
Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 
350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka 
karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati 
kebangkrutannya.
 Logo VOC
 Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda
 tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh 
perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa 
Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan
 hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah 
tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di 
Batavia, yang kini bernama Jakarta.
 Tujuan utama VOC adalah 
mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di 
Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan 
terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan 
terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para 
penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus 
menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau
 mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan 
pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang 
bekerja di perkebunan pala.
 VOC menjadi terlibat dalam politik 
internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan 
yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
 setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir
 abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas 
Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada
 tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang
 Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa 
yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai 
diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil 
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti 
teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. 
Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik 
yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah 
monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 
1870.
 Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi 
apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische 
Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan 
bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah 
gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang
 kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan 
dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.
Gerakan nasionalisme
 Pada 1905 gerakan nasionalis yang 
pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 
1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon 
hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. 
Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari 
profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik 
di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, 
termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.
Perang Dunia II
 Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, 
Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan 
siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan
 Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan 
persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai 
penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang 
sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan 
revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir 
dikalahkan Jepang pada Maret 1942.
Pendudukan Jepang
 pada Juli 1942, Soekarno menerima 
tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk 
pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan 
militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh 
Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang
 di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan 
status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap 
penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan 
seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang 
lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target 
sasaran dalam penguasaan Jepang.
 Pada Maret 1945 Jepang membentuk 
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada 
pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi 
nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad 
Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim 
Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah 
Hindia-Belanda sebelum perang.
 Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta 
dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu 
Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju 
kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 
Agustus
Era kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan
 Mendengar kabar bahwa Jepang tidak 
lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 
Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar 
mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara 
pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air 
(PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan 
kediaman Soekarno.
 Pada 18 Agustus 1945 Panitia 
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai 
Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan 
konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk 
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga
 pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan 
baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri 
dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, 
Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, 
Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Perang kemerdekaan
 Dari 1945 hingga 1949, persatuan 
kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang 
segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak 
mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk 
membentuk kembali kekuasaan kolonial.
 Usaha Belanda untuk kembali berkuasa 
dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda 
segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para 
nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 
Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun 
peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan 
kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia 
menjadi anggota ke-60 PBB.
Demokrasi parlementer
 Tidak lama setelah itu, Indonesia 
mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana 
dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen 
atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah 
pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil 
susah dicapai.
 Peran Islam di Indonesia menjadi hal 
yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan 
Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara 
Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat
 Islam takluk kepada hukum Islam.
Demokrasi Terpimpin
 Pemberontakan yang gagal di Sumatera,
 Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, 
ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan 
sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno 
secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat 
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak 
menemui banyak hambatan.
 Dari 1959 hingga 1965, Presiden 
Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi 
Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju 
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara 
bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok 
Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
 tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak 
menjadi Gerakan Non-Blok.
 Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, 
Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan 
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI 
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China,
 dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada 
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Demokrasi Terpimpin
 Pemberontakan yang gagal di Sumatera,
 Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, 
ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan 
sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno 
secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat 
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak 
menemui banyak hambatan.
 Dari 1959 hingga 1965, Presiden 
Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi 
Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju 
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara 
bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok 
Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada
 tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak 
menjadi Gerakan Non-Blok.
 Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, 
Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan 
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI 
merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China,
 dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada 
partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Nasib Irian Barat
 Pada saat kemerdekaan, pemerintah 
Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini 
(Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan
 pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
 Negosiasi dengan Belanda mengenai 
penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan 
penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum 
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 
1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju 
melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan 
Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih 
kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
 Hingga 1965, PKI telah menguasai 
banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat 
dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai 
kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai 
pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
 Pada 30 September 1965, enam jendral 
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang 
disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima 
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas 
kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan 
situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu 
orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa 
pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa
 dan Bali
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, 
salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia 
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama 
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan
 menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 
tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
 Pada 1968, MPR secara resmi melantik 
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian 
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 
1988, 1993, dan 1998.
 Presiden Soeharto memulai "Orde Baru"
 dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan 
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada 
akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan 
ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui 
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari
 ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, 
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara 
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak 
merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi 
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya 
dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang 
merajalela.
Irian Jaya
 Setelah menolak supervisi dari PBB, 
pemerintah Indonesia melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan 
Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah 
Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. 
Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. 
Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan 
kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia 
menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun 
berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang 
lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit 
yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
 Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur 
adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor
 Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. 
Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak 
mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, 
Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang 
membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah
 sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari 
Portugal.
 Pada 7 Desember 1975, pasukan 
Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan 
material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan 
Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur 
mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta 
lokasi yang strategis.
 Pada masa-masa awal, pihak militer 
Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui 
pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM 
yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
 Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor 
Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah 
pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak 
memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah 
hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan
 pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah 
tersebut.
 Pada Oktober 1999, MPR membatalkan 
dekrit 1976 yang mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan 
Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk 
memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 
sebagai negara Timor Leste.
 Krisis ekonomi
 Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
 Pada pertengahan 1997, Indonesia 
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: 
Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun 
terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin
 jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal 
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, 
meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa 
yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, 
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR 
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang 
Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia
Era reformasi
Pemerintahan Habibie
 Presiden Habibie segera membentuk 
sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan 
dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara 
donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan
 politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan 
organisasi.
Pemerintahan Wahid
 Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD 
diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, 
Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen 
dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - 
sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 
22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai 
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada 
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan 
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid 
membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal 
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
 Pemerintahan Presiden Wahid 
meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah 
situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus 
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar
 agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah 
yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal 
dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia 
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR 
yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden 
Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
 Pada Sidang Umum MPR pertama pada 
Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. 
Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta 
Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam 
skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen 
dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan 
presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil 
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama 
kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
 Pada 2004, pemilu satu hari terbesar 
di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden 
baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah 
menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar 
di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari
 Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
 Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
 bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan 
Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 
tahun di wilayah Aceh
Era Orde Baru
Setelah Soeharto menjadi Presiden, 
salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia 
menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 
mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama 
dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan
 menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 
tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
 Pada 1968, MPR secara resmi melantik 
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian 
dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 
1988, 1993, dan 1998.
 Presiden Soeharto memulai "Orde Baru"
 dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan 
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada 
akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan 
ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui 
struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari
 ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, 
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara 
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak 
merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi 
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya 
dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang 
merajalela.
Irian Jaya
 Setelah menolak supervisi dari PBB, 
pemerintah Indonesia melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan 
Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah 
Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. 
Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. 
Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan 
kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia 
menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun 
berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang 
lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit 
yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
 Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur 
adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor
 Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. 
Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak 
mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, 
Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang 
membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah
 sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari 
Portugal.
 Pada 7 Desember 1975, pasukan 
Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan 
material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan 
Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur 
mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta 
lokasi yang strategis.
 Pada masa-masa awal, pihak militer 
Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui 
pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM 
yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
 Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor 
Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah 
pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak 
memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah 
hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan
 pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah 
tersebut.
 Pada Oktober 1999, MPR membatalkan 
dekrit 1976 yang mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan 
Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk 
memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 
sebagai negara Timor Leste.
 Krisis ekonomi
 Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.
 Pada pertengahan 1997, Indonesia 
diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: 
Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun 
terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin
 jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal 
dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, 
meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa 
yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, 
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR 
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang 
Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia
Era reformasi
Pemerintahan Habibie
 Presiden Habibie segera membentuk 
sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan 
dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara 
donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan
 politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan 
organisasi.
Pemerintahan Wahid
 Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD 
diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, 
Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen 
dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - 
sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 
22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai 
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada 
Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan 
Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid 
membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal 
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
 Pemerintahan Presiden Wahid 
meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah 
situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus 
berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar
 agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah 
yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal 
dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia 
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR 
yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden 
Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
 Pada Sidang Umum MPR pertama pada 
Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. 
Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta 
Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam 
skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen 
dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan 
presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil 
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama 
kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
 Pada 2004, pemilu satu hari terbesar 
di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden 
baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah 
menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar 
di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari
 Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
 Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan
 bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan 
Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 
tahun di wilayah Aceh
 
Title : 
Description :   Sejarah Indonesia meliputi suatu  rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah  berdasarkan penemuan "Manusi...